Dedengkot LSM GEMPAR Singgung Soal Wartawan dan Kades dalam Kasus Pemerasan
Jatim,Tribuntujuwali.com
Belakangan ini, marak terjadi aksi tangkap tangan terhadap wartawan yang diduga melakukan pemerasan di berbagai wilayah hukum Indonesia. Fenomena ini menimbulkan stigma negatif terhadap profesi jurnalistik yang justru berperan sebagai pilar demokrasi dan kontrol sosial. Menanggapi hal ini, Dedengkot DPP LSM GEMPAR, Bang Tyo, angkat bicara dan memberikan pandangan kritis terkait tudingan pemerasan yang kerap dialamatkan kepada wartawan.
Kasus terbaru yang ramai diperbincangkan adalah tertangkapnya tiga wartawan di Trenggalek yang dituduh memeras Kepala Desa Surenlor, Kecamatan Bendungan, Kabupaten Trenggalek. Kasus ini bermula saat ketiga wartawan menemukan indikasi penyelewengan di pemerintahan desa. Alih-alih dilaporkan secara objektif, ketiganya diduga melakukan negosiasi untuk menghindari pemberitaan yang merugikan kepala desa.
Mengutip dari detik.com, wartawan-wartawan tersebut disebut meminta uang sebesar Rp 20 juta yang kemudian dinegosiasikan menjadi Rp 5 juta agar berita negatif tidak dipublikasikan. Pernyataan ini kemudian mendapat tanggapan dari Bang Tyo yang membantah keras tudingan tersebut.
Menurut Bang Tyo, tidak ada wartawan yang dengan sengaja meminta uang atau melakukan pemerasan. Ia menegaskan, tugas wartawan adalah mengkonfirmasi dan mengklarifikasi temuan mereka. Jika ada tekanan atau negosiasi, hal itu justru berasal dari pihak pejabat atau narasumber, bukan dari wartawan itu sendiri.
“Jangan gampang menggoreng profesi wartawan sebagai tukang peras hanya karena ketakutan narasumber untuk terbuka,” tegas Bang Tyo. Ia juga menambahkan, tudingan pemerasan selama ini seringkali tidak berdasar dan justru menunjukkan adanya upaya pejabat tertentu untuk menutup-nutupi sesuatu yang tidak ingin diketahui publik.
Bang Tyo mencontohkan logika sederhana dari kasus Trenggalek tersebut. “Bagaimana mungkin seorang kepala desa memberi uang kepada wartawan sebesar Rp 5 juta sebagai bentuk pembungkaman, kalau memang tidak ada hal yang ingin disembunyikan?” ujarnya dengan nada kritis.
Menurutnya, praktik pemberian amplop atau uang kepada wartawan saat proses konfirmasi sering terjadi sebagai upaya menutup celah kritik dan pengawasan. Kondisi ini mencerminkan lemahnya sistem dan mental pejabat yang tidak siap diawasi oleh media maupun publik.
Lebih lanjut, Bang Tyo menegaskan, apabila ada oknum wartawan yang menerima uang, maka harus dipertanyakan siapa yang memulai transaksi tersebut. “Kalau oknum wartawan menerima uang dari kepala desa, lalu kades itu harus dikatakan apa? Jangan pura-pura bodoh,” ucapnya.
Pernyataan Bang Tyo ini sekaligus menjadi teguran keras bagi para pejabat yang alergi dengan pengawasan publik. Dia mengingatkan bahwa profesi wartawan bukanlah alat tawar-menawar atau alat pemeras, melainkan penjaga transparansi dan akuntabilitas.
“Wartawan itu bertanya, bukan meminta uang. Kalau ada yang merasa terganggu oleh pertanyaan wartawan, itu bukan masalah etika tapi niat untuk menutupi sesuatu,” pungkas Bang Tyo.
Kasus ini menjadi cermin nyata bahwa stigma negatif terhadap wartawan sebagai pemeras masih perlu diluruskan agar profesi jurnalistik bisa kembali dihargai dan menjalankan peran sosialnya secara optimal.
Keterangan informasi dikutif, dirangkum dan diterbitkan langsung oleh media pada Jumat 15/5/2025.
(***)
0Comments