Terminal Ciledug, Wajah Jawa Barat: Bukan Panggung Kebebasan yang Keblinger
CIREBON, Tribuntujuwali.com
Terminal Ciledug kembali menjadi sorotan publik. Bukan karena prestasi atau inovasi pelayanan transportasi, melainkan karena aktivitas yang dianggap menyimpang dari nilai-nilai budaya masyarakat Jawa Barat. Soft opening sebuah kafe di kawasan terminal beberapa waktu lalu dinilai telah mencoreng wajah budaya lokal dengan menampilkan hiburan DJ yang tidak mencerminkan kearifan budaya Sunda maupun identitas masyarakat Cirebon.
R. Hamzaiya, seorang pemerhati kebijakan publik dan aktivis menegaskan bahwa Terminal Ciledug adalah aset milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat, bukan milik perseorangan, bukan pula ruang privat yang boleh diisi sesuka hati. Oleh karena itu, segala bentuk kegiatan di dalamnya harus tunduk pada nilai-nilai publik dan mengedepankan kepentingan kolektif masyarakat.
"Terminal Ciledug bukan tempat pesta kebebasan. Jika pengelola kafe merasa lebih nyaman dengan menampilkan hiburan yang lepas dari akar budaya lokal, maka lebih baik mereka menyewa ruko di tempat lain. Jangan memanfaatkan aset milik rakyat Jawa Barat hanya demi kepentingan bisnis yang tidak selaras dengan jati diri masyarakat," tegas Hamzaiya.
Ia menyatakan, tidak ada yang salah dengan keberadaan kafe di area terminal, asalkan tujuan utamanya adalah mendukung fungsi terminal sebagai simpul pelayanan publik dan bukan sekadar tempat pelampiasan gaya hidup bebas. Apalagi jika kafe tersebut justru menjadi panggung hiburan yang jauh dari nilai edukatif, spiritualitas lokal, atau semangat kebangsaan.
“Terminal adalah tempat orang berlalu lalang, tempat rakyat singgah—bukan tempat untuk menormalisasi budaya pesta. Kalau hanya mau jualan suasana bebas, tidak usah menumpang di ruang milik rakyat,” tambahnya.
Hamzaiya juga menyentil para pengelola yang dengan mudahnya mengabaikan aspek etika dan tanggung jawab sosial. “Apakah mereka lupa bahwa Terminal Ciledug dibangun dari uang rakyat? Di tanah ini, para leluhur Sunda dan Cirebon membangun peradaban, bukan club malam,” ujarnya tajam.
Alternatif Positif: Terminal sebagai Pusat Literasi dan Budaya
Sebaliknya, ia menawarkan gagasan yang lebih konstruktif: menjadikan Terminal Ciledug sebagai ruang edukatif dan pelestarian budaya. “Bayangkan jika area terminal dijadikan taman baca, ruang pertunjukan tari tradisional, tempat pelatihan calung, angklung, atau galeri topeng Cirebon. Bukankah itu akan jauh lebih mulia?” katanya.
Hamzaiya menekankan pentingnya arah pengelolaan yang berkepribadian lokal. Menurutnya, generasi emas yang bermartabat hanya bisa lahir dari ruang-ruang publik yang menghargai akar budaya dan nilai-nilai lokal, bukan dari tempat yang mendorong gaya hidup hedonis atau kebebasan tanpa tanggung jawab.
“Kalau para pemilik kafe ingin berkontribusi, ikutlah menghidupkan kesenian lokal, sajikan makanan khas, hadirkan pertunjukan gamelan atau diskusi budaya. Itulah bentuk dukungan nyata terhadap masyarakat Jawa Barat,” tegasnya.
Dengan demikian, polemik ini semestinya menjadi bahan refleksi bersama. Apakah kita ingin membangun masa depan yang berakar pada budaya dan kearifan lokal, atau membiarkan ruang-ruang publik kita dijadikan panggung kebebasan yang lepas dari nilai? (*)
0Comments