Industri Sabut Kelapa Lapas se-Jawa Barat Melesat: Didukung Kakanwil dan Diapresiasi Menteri UMKM RI
Bandung, Tribuntujuwali. Com
Sebuah perubahan besar sedang terjadi di lingkungan Pemasyarakatan Jawa Barat. Dari balik tembok-tembok yang selama ini identik dengan pembinaan tertutup, kini muncul sebuah gerakan ekonomi baru yang lahir dengan cara yang tidak banyak disadari orang: industri pengolahan sabut kelapa yang dikerjakan langsung oleh para Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Dan di balik gerakan ini, berdiri sosok Kakanwil Pemasyarakatan Jawa Barat yang menjadi arsitek transformasi hilirisasi sabut kelapa hingga mampu menembus pasar mancanegara.
Transformasi ini bermula dari Lapas Kelas IIA Garut yang mengembangkan unit produksi sabut kelapa menjadi coir net dan coir shade. Melihat keberhasilan tersebut, Kakanwil Jabar mengambil keputusan strategis: program ini tidak boleh berhenti di satu UPT, melainkan harus direplikasi secara masif. Dalam waktu singkat, enam UPT Pemasyarakatan lainnya ikut menjalankan industri yang sama, yaitu Lapas Kelas I Cirebon, LPN Kelas IIA Cirebon, Lapas Indramayu, Lapas Ciamis, Lapas Sumedang, dan Lapas Kuningan.
Replikasi itu tidak dilakukan secara sembarangan. Kanwil membangun sistem dengan standar yang sama di setiap UPT. Proses produksi diseragamkan, pelatihan diberikan secara terstruktur, peralatan diperkuat, rantai pasok dijaga stabil, dan pendampingan dilakukan terus-menerus. Hasilnya sangat jelas: tujuh Lapas kini mampu menghasilkan produk sabut kelapa berkualitas ekspor secara mandiri dan berkelanjutan.
Kakanwil Pemasyarakatan Jawa Barat menyebut rencana ini sebagai loncatan besar untuk menjadikan UPT Pemasyarakatan sebagai bagian penting dari rantai pasok industri kelapa nasional. "UPT di Wilayah Penghasil Kelapa Akan Difokuskan Menjadi Sentra Bahan Baku," kata Ditjenpas Kanwil Jabar, Kusnali kepada media Kamis 4 Desember 2025.
Kakanwil Pemasyarakatan Jawa Barat juga menegaskan bahwa langkah ini bukan sekadar inovasi lokal, melainkan implementasi konkret dari Asta Cita Presiden RI, terutama agenda pemberdayaan ekonomi rakyat, serta pelaksanaan 13 Program Akselerasi Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan yang menekankan pentingnya pembinaan kemandirian, ketahanan ekonomi, dan hilirisasi produk UMKM Pemasyarakatan. “Kami ingin memastikan bahwa kebijakan nasional tidak berhenti sebagai konsep. Di Jawa Barat, setiap arahan kementerian harus berwujud program nyata yang bermanfaat bagi WBP, masyarakat, dan negara,” tegas Kakanwil.
Pemilihan sabut kelapa sebagai komoditas utama bukan keputusan tanpa perhitungan. Sabut kelapa melimpah di Jawa Barat, sering dianggap limbah, tetapi memiliki nilai tambah tinggi setelah diolah. Ketika sabut kelapa dirajut menjadi coir shade atau coir net, produk tersebut dibutuhkan banyak negara untuk konservasi tanah, reklamasi lahan, green construction, hingga infrastruktur lingkungan. Pasarnya besar, permintaan stabil, dan Jawa Barat memiliki semua sumber daya untuk memenuhinya—termasuk tenaga kerja terampil dari WBP yang dilatih sesuai standar industri.
Di sisi lain, dampaknya terasa luas. Para petani lokal kini memiliki pasar tetap untuk sabut kelapa yang dulunya sering tidak terserap. WBP memiliki kesempatan mendapatkan keterampilan baru, penghasilan yang sah, serta penghargaan berupa remisi atas partisipasi positif mereka. Pengusaha lokal bergerak dalam rantai pasok, dan pemerintah mendapatkan nilai tambah ekonomi yang nyata dari dalam Lapas. Transformasi ini menciptakan ekosistem ekonomi yang menghubungkan petani, WBP, pengusaha, dan pasar internasional.
Model ini memicu perhatian nasional, apalagi setelah Menteri UMKM RI, Maman Abdurrahman, secara langsung menyampaikan apresiasinya saat melepas ekspor Coir Shade Garut ke Spanyol. Dalam pernyataannya, Menteri menilai bahwa Jawa Barat telah berhasil membuktikan bagaimana pembinaan Pemasyarakatan dapat bertransformasi menjadi kekuatan ekonomi. “Saya salut. Program sabut kelapa di Jawa Barat tidak hanya berjalan di satu tempat, tetapi berkembang pesat di banyak Lapas. Ini bukti bahwa Kanwil bekerja dengan kebijakan yang kuat dan implementasi yang serius,” ujarnya.
Menteri UMKM menambahkan bahwa ekspor rutin dari dalam Lapas merupakan sesuatu yang tidak banyak terjadi di negara manapun. Untuk bisa mencapai tahap tersebut, diperlukan manajemen mutu yang ketat, disiplin produksi, serta kesinambungan suplai—semua itu berhasil dibangun oleh Kanwil Jabar. “Kalau dari dalam Lapas saja bisa ekspor rutin, maka UMKM di luar pun pasti bisa. Pemerintah akan membuka akses pasar yang lebih besar,” tambahnya.
Kini, tujuh Lapas di Jawa Barat menjadi sentra produksi sabut kelapa berorientasi ekspor. Produk mereka telah menembus Spanyol, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Bahkan beberapa negara Eropa lainnya sudah menyatakan minat untuk bermitra secara jangka panjang. Bagi WBP, keberhasilan ini bukan hanya angka ekspor, tetapi bukti bahwa mereka mampu berkarya, produktif, dan dihargai dunia internasional.
Transformasi ini membuat Jawa Barat menjadi role model nasional untuk UMKM Pemasyarakatan. Apa yang awalnya hanya sebuah percobaan di satu Lapas, kini berubah menjadi gerakan besar yang menghubungkan kebijakan nasional, pembinaan Pemasyarakatan, pemberdayaan petani lokal, dan ekspor komoditas unggulan.
Gerakan hilirisasi sabut kelapa di bawah kepemimpinan Kakanwil Jabar kini menjadi bukti nyata bahwa perubahan besar kadang datang dari tempat yang tidak terduga—dari balik jeruji, dari tangan-tangan yang ditempa oleh pembinaan, dan dari pemimpin yang melihat peluang di tempat orang lain melihat batasan.
Jika dikelola dengan strategi yang sama, Jawa Barat mungkin baru memulai. Dan seluruh Indonesia sedang menunggu apa langkah berikutnya.(Red)
0Comments